Biola adalah jendela hati pemainnya, itu yang kau katakan untuk mengiringi jemari yang menari diatas dawai-dawai yang tergesek. Kau tidak harapkan apapun untuk hidupmu, kecuali aku yang bukan seorang maestro memainkan sebuah lagu untukmu. Dalam lantunan biola, Aku mulai membasahi sudut mataku, dan terkenang pada masa yang bila saja aku diijinkan, aku ingin terus mengulanginya,….
“Ah,.. udah gpp ko sus,..” Aku berkilah dan terus melaju tak peduli dengan tangan yang berusaha mencegahku. “Mas Bagus, jahitan diperut Mas masih basah, tar kalo kebuka gimana?” suster itu mulai putus asa dan terus menarik diriku. “Aduhh,.. sus saya cuman keluar bentar, boring nihhhh,… satu sedot rokok aja sus, dah gitu janji balik kekamar,” Aku memohon, karena selain boring yang masih bisa kutahan, sebenarnya mulutku mulai asam, dan merindukan manja-manja syahdu kepulan asap yang mengalun, ha ha lebay.
“Ga, bisaaaa,…malah mau ngerokok lagi” suster itu mulai menarik-narik tanganku. “AduhhhDuhdDhuhu(T_T), susssss,… suster sendiri yang bilang jahitan masih basah, suster sendiri nih yang ngebukanya kalo gini caranya,..” Aku memelas sakit, karena jahitan di perut bekas operasi usus buntu mulai terasa sakit karena tarikan tangannya. Tapi hal ini ada bagusnya, soalnya berikut, aku memanfaatkan situasi (^^)V. “Aduh, Mas bagus maaf, sakit ya,..” suster itu polos bertanya. “Iya suusss, makanya jangan tarik-tarik, pokoknya aku janji tar balik,” Aku pun berlalu dan meninggalkan suster yang masih cengo (bengong ga jelas). Dengan seragam rumah sakit aku terus menuju halaman depan, dan yesss,… nyasar..T_T .
Rumah sakit ini besar dan banyak lorong-lorong, ditambah jujur saja kalo diriku rada “grah” alias gagap arah. Seiring langkahku, rumah sakit semakin sunyi, dan aku terus berdoa agar tidak nyasar keruang mayat dan ada zombie yang mirip Resident Evil (buat yang ga tau resident evil, googling aja ya,.. b(>.<)d,..). Bisa bahaya kalo bener gitu, gimana bisa lari aku dengan perut kaya gini. Aku akhirnya mulai berbalik arah dan susuri jalan yang tadi kutapak. Akhirnya aku menemukan pintu kedua dari ujung lorong tempat aku dirawat, membuka pintunya, dan langsung tidur perlahan, karena akibat jalan-jalan tadi perutku mulai perih, dan inilah awal pertemuanku dengannya.
Brakk!!!,… Pintu kamar mandi terbuka dan membuat aku kaget setengah mati, akupun terbangun tiba-tiba, “ARGHhhhhhH,… “ Gerakan tiba-tiba itu membuat perutku serasa dirobek, dan belum habis kagetku dari pintu kamar mandi terdengar suara, “Siapa itu,…papahh??” Dan keluarlah seorang gadis manis dari kamar mandi tersebut. “Ha kamu siapa ngapain diruanganku?” akupun bertanya. “Ha, kamar siapa? Kamu siapa ya, tapi dari dulu ini kamarku rasanya.” Gadis manis itu mulai berjalan dan tangannya meraba-raba arah didepannya. Aku mulai terkesiap dengan ucapan gadis itu dan mulai berkeliling menatap sekitar. “Uhm, aduh maaf mba, aku yang salah,” Dengan hati-hati aku bangkit dan berjalan kearah pintu, tapi seketika aku berhenti dan mulai menyelidiki gadis tersebut. Wah gadis yang sangat cantik, rambutnya ikal, sepertinya dia keturunan arab, dan tunggu dulu dia,… buta. Akupun mencoba menolongnya dan menggenggam tangan gadis tersebut. Jari yang kugenggam tampaknya terkesiap dan menarik tiba-tiba. “Kamu siapa sih,… jangan pegang-pegang,” (..(T__T)hikss,.. ß--gambaran hati gw.)
“Tenang Mba, saya bukan orang jahat, saya nyasar Mba. Tadi saya keluar ruangan untuk kedepan, tapi nyasar, sungguh Mba, dan saya bantu Mba untuk kekasur ya, tar saya pasti keluar kalo Mba udah di kasur,” Akupun kembali mencoba menggenggam tangan dia. “KELUARRRR,…..” tiba-tiba dia berteriak, tentu saja aku yang kaget langsung reflek lari ke arah pintu, dan,… BRAkkK!!!! Modar dakuuuuuu,…. Gerakan tiba-tiba itu membuatku menabrak pintu, jatuh pada jahitan perutku dan,… entahlah, pokoknya rusuh dan ga bisa mikir.
Sekarang aku terbaring dengan lemah dengan suster yang tersenyum menang sambil menyentil-nyentil jarum suntiknya. “Makanyaaa,… dikasih tau jangan ngeyel mas,” sahut suster sedikit ketus pada senyumnya. “Sus ampun dah, ga usah diomelin juga udah kesiksa ini... Udah, keluarga saya diseberang pulau, ampir tiga minggu saya di kamar, dah gitu ketemu cewek cantik malah diteriakin kaya maling. Kesian dikit ke Sus.” Dengan kesal, aku sekalian curhat colongan, berharap suster yang mulai tersenyum geli itu, menghentikan mimik menyebalkannya. “Anu sus, ngomong-ngomong cewek yang buta itu siapa sih sus,” aku bertanya pada suster dengan penasaran. “Namanya Clara mas, dia pasien lama, gara-gara penyakitnya dia tidak bisa melihat, dia itu sakit,..”
“Diabetes, karena diabetes penglihatan ku terus berkurang, sampai akhirnya aku ga bisa lihat lagi,” tiba-tiba Clara masuk dari pintu yang terbuka, dan mengaggetkan kami berdua. “Ohh, Mba Clara,… maaf saya tidak,..”
“enggak apa-apa Sus, kalau maksudnya ga bermaksud ngomongin saya, enggak apa-apa kok. Saya justru seneng Mas ini nanyain saya,” Clara tersenyum dan berjalan kearah kami dengan seorang suster yang memapahnya. “Aduh, Mba Clara aku, minta maaf kejadian tadi,..” Aku gugup karena cewek yang kami obrolkan datang tiba-tiba, tapi Clara lagi-lagi memotong ucapan. “Itu juga ga apa-apa Mas, saya justru kesini mau minta maaf, Saya takut tadi Mas. Maklum, mata saya buta, jadi pikiran saya kadang suka bayangin hal yang aneh-aneh,” dia menjelaskan kejadian tadi sambil tersenyum, dan senyumnya itu loh, muaaanissssss. “Saya tadi diceritakan kalo Mas pasien lorong sebelah, dan mas nyasar kekamar saya, tapi lucu ya, masa ga buta bisa nyasar. Saya aja yang buta ga pernah nyasar.” Clara nyerocos dan terus tersenyum. “Iya, Mba penyakit.” Kataku singkat. “Haaaa,.. penyakit apa? Pikun ya?” Diapun terus mendekat dan sudah duduk pada bangku disebelah kasurku.
Itulah kisah pertemuanku dengan Clara. Dan selanjutnya seiring waktu, hariku pada rumah sakit ini tidak membosankan lagi. Clara adalah wanita periang dibalik penyakitnya. Dia adalah anak tunggal pengusaha yang cukup kaya, dan walau ayahnya jarang menengok putrinya, tapi terlihat kalau sang ayah sangat mencintai Clara, seperti yang disampaikannya saat itu, “Om, terpaksa tidak bisa datang setiap hari, pengobatan anak Om membutuhkan biaya besar, sehingga Om bener-bener kerja cari biaya. Tapi sukur nak Bagus bisa menemani Anak om. Ini ga disangka, dan Clara bisa punya teman. Om benar-benar sangat senang,” mata Om Jeff tampak berkaca setelah mencurahkan isi hatinya. Dan karena perkataan ini juga diriku mulai merasa wajib menemani hari-hari Clara dirumah sakit ini, walau aku sudah pulang karena sakitku sembuh. Tapi aku tekankan ini bukan beban. Karena Clara benar-benar menyenangkan. Sampai suatu ketika,…
“Sungguh ka Bagus bisa maen biola? Wah ka Bagus harus main buat Clara, Ka Bagus kan tahu Clara suka musik Classic. Pokonya Clara tunggu Ka Bagus main buat Clara. Clara selalu suka sama biola Clara berharap suatu saat nanti ada seseorang yang main itu dengan spesial buat Clara.” Mati, pikirku. Clara adalah seseorang yang sangat teguh pada keinginannya, mungkin tidak dia perlihatkan dengan nyata, tapi kalau dia sudah menginginkan sesuatu, dia akan menanyakan dengan lembut, dan kalau tidak terkabul akan diam seribu bahasa, dan dengan kejam, dia berbalik anggap kita ga ada, dan ini bener-bener sukses buat cowok yang punya hati sensitif kaya diriku (T___T) . Akupun tidak kehilangan akal.
“Ha, ngapain lo nyari anak yang bisa maen biola?” Ridwan temen satu angkatan ku bertanya heran. “Gw ada penting, pokonya ada ga di kampus kita yang bisa maen biola, dan jangan tanya kenapa, soalnya ini proyekan.” Aku menjawab Ridwan dengan dalih. “Waaahhh culas lo Gus, masa proyekan pake rahasia, Lo kan tau Gus, gw juga seret nih, ajak dong, gampang tar masalah cari. Ada tuh namanya Rina anak bahasa, dia jago maen biolanya, dan kemaren pas pentas seni, tuh anak maen biola ngiringin band kampus.” Ridwan temanku yang malang, bener-bener bukan tipikal orang sukses, aku rasa aku ga usah dijawab kenapa. Akupun berlari kearah jurusan bahasa. “Oit, Gusss,.. kemana?... Jadi ga gw diajak Guss,… GUSSSS,… OIIIiii,.. IKUT PROYEeKkkannnn,…..” Aku ga peduli jerit pilu dan perih si Ridwan, pokoknya aku harus menuju kelas bahasa dan mencari yang namanya Rina. Clingak-clinguk aku akhirnya beranikan diri bertanya pada sekelompok orang, “Maaf, emm,.. ada yang tau yang namanya Rina ga, dari jurusan bahasa disini?” Aku bertanya menyalip sekelompok siswa dan siswi yang sedang asik ngobrol. Sekelompok siswa-siswi itu melihat kearahku penuh selidik dan membuat diriku salah tingkah. “Ada perlu apa Mas cari-cari Rina,” seorang gadis manis dengan rambut panjang bertanya dengan nada menyelidik. Dan entah diriku yang waktu itu sedikit tidak nyaman dengan tatap menyelidik orang-orang, memutuskan untuk berbohong. “Saya Saudaranya, saya mau ketemu sama Rina ada kabar penting,” kataku kalem. “Saudara,.. saudara dari mana ya?” Gadis berambut panjang itu bertanya lebih lanjut dan lebih menyelidik, dan aku yang yang merasa terpojok dengan pertanyaan itu menjawab kesal, “ADUHHHH,..pokonya ini,.. PENTING OK,… ada kabar dari kampung dia,... Masa saya harus jelasin silsilah dulu sih?,” Aku mulai tinggikan suara. “Ya saya Rina mas dari jurusan bahasa. Dan namanya Rina itu cuman satu orang di jurusan bahasa. Yakin mas ga salah tanya? Soalnya saya ga pernah inget punya saudara kamu.” Gadis yang ternyata bernama Rina menyahut dengan nada galak, karena kesalahan awalku yang tinggikan suara. Ok,… SKAKKK.. MAT…
“Ha ha ha,..” Rina tertawa lepas mendengar semua penjelasan diriku akhirnya. Yah singkat kata sesudah drama konyolku tadi, aku yang terperangkap disudut mati, memohon Rina untuk ikut dan berbicara empat mata. Hal yang tidak mudah, karena beberapa teman Rina yang gw rasa asuhan Adek Rai, berdiri dan mulai mencengkram tanganku, yang sembrono narik Rina untuk ikut. Aku pun saat itu langsung pasang senyum semanis madu sumbawa, dan menjelaskan dengan nada sesyahdu lagu rindu. “Lagian lo juga sihhh, udah datengnya ga jelas, tiba-tiba langsung tarik tangan lagi,” Rina masih terpingkal dengan ulahku barusan. “Yaaa,.. maklum Rin, Gw mesti ngomong apa coba? Gw dah bingung pas lo ngomong, gw Rina,..” aku menjelaskan sekenanya, dan melanjutkan maksud awalku, “Jadi Lo mau kan Rin? Gw ga mau di cap tukang bohong, apa lagi sama si Clara,” aku menanyakan kembali maksudku. “So swet,… ok gw mau, tapi lo yakin? Bukannya itu tambah bohong?” Rina bertanya kembali. “Yaaa,… tapi gimana lagi Rin? Gw kayanya ga punya ide lain,” kataku singkat. “Atur aja waktunya okeyy,… Sekarang gw ada kelas,” Rina pun berdiri dan melangkah menuju kelasnya.
Pada hari yang dijanjikan aku masuk pada ruangan Clara dirawat, “Hai cewek,” Kataku mesem. “Ahhh,.. ka Bagus, halo Ka,” Clara berseri dan melambai pada ruang di depannya. “Sekarang Kaka punya kejutan buat kamu,” Akupun membawa Clara dengan kursi roda pada taman rumah sakit, karena tidak mungkin Rina bermain biola dalam ruangan. Dalam perjalanan kami, Clara terus bertanya-tanya, Akupun tersenyum dan menjawab agar dia bersabar. Akhirnya kami tiba pada sebuah pojokan taman rumah sakit yang sepi, Rina sudah siap dengan biolanya dan bersikap hati-hati agar kehadirannya tidak diketahui. Lalu aku menuntun tangan Clara pada sebuah biola yang aku siapkan untuk pertunjukan manipulasi ini. “Ahhh,.. ini biola kan ka?, wahhh,..Ka Bagus mau maen sekarang ya?” Clara langsung bahagia berseri dan mencari sosok ku, Akupun mendekat dan meletakkan tangan Clara pada pipiku. “Clara seneng banget ka,… ini indah buat Clara.” Dia terus tersenyum sambil mengelus pipiku dan menatap kosong pada atas kepalaku. “Clara mau lagu apa?” tanyaku singkat, dan selanjutnya kepalaku digetok sama Rina dari belakang dengan gagang biola. “Adawww,…” kataku reflek. “Kenapa ka?” Clara bertanya heran. “Ah,.. eng..engga apa-apa, anu ini ada semut ngigit.” Bodohnya aku menanyakan request, kalau Rina bisa tidak masalah, tapi kalau sebaliknya bisa jadi masalah. “Lagu apa aja ka, tapi yang romantis ya,” kata Clara tersenyum. Aku pun menoleh pada Rina, dan Rina pun mengangguk. “Ok,.. sekarang dengerin ya say,” Aku mulai mundur kebelakang dan berisyarat pada Rina.
Rina mulai menggesek biolanya, dan sekejap Aku terhanyut dengan alunan musik biola tersebut, alunan biola Rina benar-benar sangat indah, Rina menjiwai setiap gesekan pada tangkai biolanya. Clara mulai terdiam dari semua geraknya, dan matanya berkaca-kaca, mendadak aku merasa bersalah karena telah membohongi Clara, Aku berharap air mata haru itu untuk diriku. Lagu-lagu berikutnya terus mengalun, dan akhirnya sesudah Rina selesai memainkan sebuah lagu, Clara mengusap sudut pipinya dan berkata, “Ma kasih ka,,… indah dan bener-bener bikin Clara terharu, suara biolanya bikin Clara kaya bisa ngeliat lagi, benar-benar ngebuat Clara membayangkan dimana Clara saat ini, cumannn,…” Clara berhenti berucap. “Cuman apa?” Aku menanyakan tidak sabar. Lalu dengan tersenyum Clara melanjutkan, “Cuman sayangnya bukan Ka Bagus yang main.” ASTAGAAAAAA,… aku benar-benar merasa ada sejuta bom dari dalam dada. “Clara memang tidak bisa melihat Ka, tapi Clara sensitif terhadap suara. Clara dengar pijakan kaki Ka Bagus, dan suara Biola bukan dari situ asalnya, Clara juga denger Ka, suara nafas dari asal biola, dan suara nafas Ka Bagus disebelahnya. Terus akhirnya Clara simpulin, kalau bukan Ka Bagus yang main.” Clara lalu tersenyum, dan melanjutkan, “Siapa kaka yang memainkan biola untuk Clara?” Clara meneruskan pertanyaan pada Rina. “A,.. anu, “ Rina terperangah dan salah tingkah sambil menatapku, Aku tentu saja diam sama-sama bingung. “Ga apa-apa kaka-kakaku yang baikkkkk,… ha ha ha,… Kalian punya maksud baik, walau berbohong Clara ga marah kooo,…” Clara memecah kegugupan kami sedikit dengan pernyataannya. “Ka Bagus minta tolong sama saya, dia cerita sama aku tentang kamu.” Rina menjawab Clara dengan suara lirih. “Ma kasih ka,.. Clara seneng dengan semua ini, tapi ka Bagus, Clara sih harap denger suara Biola, langsung dari Kaka sendiri.” Clara berkata sambil sambil mencari arahku, Akupun menggenggam tangan Clara dan berkata, “Kaka janji, suatu saat pasti Kaka yang main Biolanya.” Aku mencium tangannya dengan mata berkaca, mungkin inilah kenapa aku sangat mengaguminya. Clara benar-benar anak baik.
“Ok,.. abis pulang kuliah, dan ga pake ngaret,” Rina menjawab permohonanku untuk belajar memainkan Biola pada keesokan harinya. “Siap bos, dirumahmu kan? Pokonya tar gw datang,” Aku menjawab dan mulai untuk mempersiapkan diriku untuk menerima materi dari Rina.
“Wah,… jadi gitu ya, dah kenal Clara mulai ninggalin gw terus,” Ridwan teman satu kosanku menatapku dan protes. Maklum sejak kenal Clara aku memang jarang gaul dilingkungan kosan ku. “Bukan gitu, lagian ini bukan kerumah sakit,” jawabku singkat. “Jadi,…” tanya Ridwan, “Gw mau kerumah Rina,” jawab ku sambil memakai sepatu. “Bahhhh,… Jadi ya proyekannya? Lo bener-bener Gus, lo ga solider lo ma temen,… Gus,… oi,.. jawab…” Ridwan mulai merajuk.“ Aku lalu mulai mengikat sepatu dan menjawab sohib ku yang satu itu, “Siapa yang jual solderrrrr,… lagian lo juga duit sebulan abis di game On-Line,” Aku menjawab dengan kesal. “Ah lo ga sesuai konteks nihhh,… Gus ikut dong kerumah Rina, lagian siapa tahu gw jodoh. Rina kan caem,” kata Ridwan sambil senyum ga jelas. “Ah mana mau Rina sama lo, dah kuliah jebol, nge game terus, bau ketek lagi,.. mandi sono looohh, cuih nyamuk juga pingsan deket-deket lo kupret.” Kata ku dan mulai beranjak. “Jiah kan,.. ini nih,.. awas lo Gus. Ada tugas kaga bakal gw bantu, lo mau ampe nangis darah juga, malah gue jual darah lo ke PMI.” Untuk yang satu ini aku melunak, dan mulai membuat kesepakatan dengan Ridwan. Ridwan memang anak aneh, dia jebol kuliahnya gara-gara game, tapi untuk jiwa desain nya aku bener-bener iri. Ridwan itu mempunyai bakat alam untuk membuat desain-desain indah di kuliah desain grafis tempat kami belajar. Cuman bakat alamnya itu dimanfaatkan bukan untuk tugas kuliahnya, tapi untuk mata pencarian dirinya menutupi uang saku yang selalu dia habiskan di game on-line terdekat,dengan cara jadi agen tugas anak-anak. Dan aku dibantu Ridwan gratis karena mengijinkan dia satu kosan dengan ku. Sehingga uang kosan dia bisa dipakai di game on-line tersebut, parah emang. “Ok sayang, begini. Sekarang Lo liat gw, mungkin ga gw kerumah Rina buat proyekan, malem-malem, dan gw dandan rapih gini,” sambil gw natap mesra matanya. “Au, ah, bodo,…” Ha ha beneran ngambek nih anak kataku dalam hati. “Sayangggg, kau dan aku sudah seiring berdua dalam suka dan duka, gw tau perihnya kamu menjalani kesendirianmu,” aku melanjutkan dengan kata-kata yang aku tiru dari telenovela. “Ahhh,… Homo loh, dah sana cabut, jijay gw liat lo kalo dah maen homo-homoan.” Kata Ridwan sambil ngupil dan meperin ke badan ku. “Iyahhh,… ngajak tempur upil,…” aku pasang jurus tempur upil. “Ahhh,… iya nyerah udah sono lo kampret,” Ridwan mulai serius, dia memang orangnya egois, kalo bicara jorok, ngelihat dia ga mandi tiga hari karena diwarnet udah bisa bikin orang Istigfar, tapi dipola pikirnya, mungkin dirinya sebersih putri keraton dan selalu marah beneran kalo orang laen jorok, padahal dia duluan. “Ha ha,.. ya udah tenang aja Wan, tar gw cariin buat lo, biar lo ga karatan end jadi bujangan busuk, ha ha ha” Aku berlalu dan menghindari timpukan sebungkus rokok, “Lo yang Busuk,…” kata Ridwan.
Aku mulai belajar biola dengan tekun, hampir empat hari dalam seminggu aku terus berlatih biola dibawah bimbingan Rina, dan bodohnya aku mulai jatuh cinta pada Rina. Clara akupun suka, tapi dengan Rina ini sensasi yang berbeda. Rina itu dibalik kata-katanya yang lugas punya sifat lembut, ok aku suka juga dengan kemanjaan Clara, terlebih Clara lebih cantik dari Rina. Tapi dengan Clara aku tidak bisa merasakan apa yang bisa kurasakan dengan Rina, ketika Rina menggenggam tanganku dan mulai mengajarkan menggesek biola, perang terigu dirumahnya pas bikin cemilan bakwan(tepung terigu, wortel dan digoreng) belum lagi keluarganya hangatnya, seperti ibunya yang selalu punya cerita bawel yang bikin aku diam bengong ga bisa ngomong, dan bilang iya tiap tiga detik sekali. Lalu Ayah Rina yang sedikit kaku dan suaranya seberat tank baja. “NAK BAGUS, UDAH SEMESTER BERAPA? KENAL DIMANA SAMA ANAK OM.” dengan nada dalam, lambat dan tegas. “Di tempat kuliah Om,…” Kataku lemes, imut, mendesah dan pasrah. “YA IYAAAA,… ITU OM GA USAH DI JELASIN UDAH TAHU, SEKAMPUS TOH,.. MAKSUDNYA, SATU JURUSAN, ATAU GABUNG DI KEGIATAN YANG SAMA,..” menyelidik, investigasi, ngeri, tajam, menerkam. “,….Beda jurusan om,…” tambah ciut, keringat dingin, makin lemes, makin pasrah. “OM GA TANYA JURUSAN,… KAMU NGERTIKAN MAKSUD OM,… KAMU KENAL DIMANA,” makin bangkit, juara, semangat juang dan menerjang. “,…dari kenalan aja kok om,… T____T ” gulp ß-nelen ludah, mati, kram, ga bisa lari. “ANAK MUDA LOYO, JAWAB MUTER-MUTER, DIMANA KENALANNYA.” Tetap tenang, makin dalam, garang. “Pahhh, udah dong ah, nanya dah kaya polisi, Rina sama Ka Bagus kenalan biasa, Ka Bagus kebeneran aja butuh pemaen biola, jadi ya kenalannya disitu.” Ohhhh Rina kuuuuu my heroooo hikss (T___T), lalu dengan cuek ayah Rina kembali membaca koran. Aduh kalo ayah Rina udah nimbrung bener-bener waktu kaya berhenti.
Seiring latihanku dengan Rina, kami semakin akrab. Tanpa kurasa aku semakin jarang menjenguk Clara, hingga suatu saat, “Lo dah bisa deh kayanya maen biola untuk Clara,” kata Rina dengan senyum ketika aku selesai memainkan sebuah lagu. “Ya Rin, tapi gw masih ga pede,” Aku pun menjawab, “Alahhh, masih ga pede atau masih kangen ketemu gw?” Kata Rina. “Masih, kangen Rin, sama bakwan buatan lo,” Aku menjawab dengan tertawa. “Jiaahhh, mang gw tukang gorengan, dah lo balik sana kerumah sakit, kesian Clara, lo latihan terus sampe lupa, ada kali lo seminggu ga kesana.” Rina mengingatkan diriku yang mulai khilaf dengan keberadaan Clara, dan aku tersentak dengan kenyataan itu. “Iya Rin, gw bakal kesana besok,” aku berkata singkat dalam gundahnya hatiku, karena aku secara bertahap mulai menyukai Rina lebih dari pada Clara, tapi Clara itu tetap mempunyai arti dihatiku.
Esoknya aku berangkat menuju rumah sakit, sebagian hatiku kangen sama sosok Clara yang periang walau sakit dia parah. Sesampai disana aku menuju kamar Clara, “Cewekkkk,… “ seperti biasa kalimat itu aku lontarkan seiring aku masuk kamar, tapi ternyata didalam ruang itu hanya terlihat kasur yang rapih, dan seorang cleaning servis rumah sakit yang sedang mengelap kaca jendela. “Ah, mas kaget aku,” kata dia serta merta, “Pasien disini udah pindah mas, katanya sih sekarang di ICU,” mendengar kabar itu aku langsung berlari dan menuju bagian informasi. “Sus, Safira Clara Nabila dipindah ke ICU, dimana tempatnya?” aku terengah dan menanyakan bagian informasi. “Kalau ruang ICU, mas keluar dari gedung ini, terus di gedung sebelah kiri lantai satu, mas tanya aja lagi disana sama satpam,” akupun terus berlari menuju gedung sebelah dan bertanya dengan satpam yang kutemui, terus berlari sampai aku melihat ayah Clara. Ayah Clara yang melihatku langsung mendekapku dan menangis, tak bisa kubayangkan seorang lelaki dewasa, menangis pada pundakku. Akupun mulai ikut menangis dan berkata “Om maafin Bagus, ga bisa jaga Clara dengan baik, Bagus ga ada pas Clara butuh Bagus,” Aku berkata dalam tangisku. “Kamu ngomong apa nak? Om sadar kamu punya kehidupan sendiri, kamu sekarang datang pun Om udah sukur nak Bagusss,.. Tapi om harap kamu sekarang temenin dia, Clara kadang bertanya tentang nak Bagus,” Ucapan Om Jef yang terkahir membuat dadaku melesak. Akupun membuka ruang ICU dan melihat Clara dengan selang-selang pada hidungnya, disamping dia terdapat berbagai monitor, dan alat-alat medis lainnya. “Clara,…” aku mencium kembali tangan yang dingin membeku itu. ”Ka Bagusss, Clara kangen tauuu,” kata dia dalam lirih. “Kaka minta maaf Clara, sekarang kaka ga akan tinggalin Clara lagi,” kataku terisak. “Kaaaa, mana ka Rinaaa?” Clara melanjutkan pertanyaannya. “Besok Ka Bagus bawa kesini ya, Ka Bagus belajar biola sama Ka Rina demi kamu sayang, makanya ka Bagus jarang datang,” Aku beralasan agar meringankan dosaku pada Clara. “Ka Bagusss, kalo Clara udah ga ada, Ka Bagus ama Ka Rina jadian yaaaa,… Clara ga mau kaka nanti disakitin sama cewek sembarangan, Clara tau kalo ka Rina orang baik, soalnya ga ada orang jahat yang bisa maen biola seindah Ka Rinaaa,” Clara menggenggam tanganku makin erat. “Bicara apa sih kamu, kamu bakal sembuh Raa,.. jangan bilang seperti kamu bakal pergi, kamu katanya mau denger Kaka maen biola,” Aku balas genggam erat tangan Clara untuk menguatkan. “Ka Bagus bawa ya biolanya, sama Ka Rina, Clara akan bertahan supaya bisa dengerin lagi untuk terakhir kalinya suara biola, tapi untuk sekarang Clara harap kaka yang main, ga usah bagus, Clara cuman mau denger suara hati kaka lewat biola yang kaka maenin,” Clara memohon lirih. “Kamu bakal terus denger Ra, sampe tahun depan juga kamu bakal dengerin kaka maen biola buat kamu, Kaka janji.” Para perawat pun mulai merengkuh pundakku, dan menggandeng pergi diriku, karena sepertinya Clara mulai tidak stabil dengan kehadiranku. Aku berlari pulang dalam perjalanan aku menelpon Rina, Rina pun bergegas dan janjian denganku dirumah sakit. Tak berapa lama kami datang dengan membawa biola. Sesudah duduk perkara dijelaskan kami diizinkan untuk bermain dalam ruang ICU, lagi pula ruang ICU kedap suara, dan semua berharap semangat Clara tumbuh kembali.
“Clara,..” Rina membisik lembut pada kuping Clara. “Ka Rinaaa,… mana ka Bagus,..” Jemari Clara dengan lemah mencari sosok ku, aku pun menggenggam lembut jemarinya. “Kaka maen ya, kamu yang kuat ya sayang,” kataku. Aku mulai membongkar tas biola dan mendudukkan pada bahuku, Jemariku dan tanganku mulai bergetar, seiring nafasmu mulai lemah dalam rengkuh sisa waktumu. Dan disinilah aku,…
Biola mengalun dalam hening gelap dunianya, alunan musik yang mengalun dari gesekan senar-senar yang melebur bersama sunyinya ruang ICU, alunan musik yang mengalun dari gesekan senar-senar yang memecah harapan yang tidak terkabul waktu. dimana kau berkata bisa melihat warna-warna dunia pada setiap dawai-dawainya tergesek. Aku tidak bisa hadiahkan padamu berbagai permata, cincin ataupun kalung dimana kau akan berbinar, tidak juga bisa untuk membawamu pada terbenamnya ,atau terbitnya mentari yang akan bersinar mengiringi mimpi-mimpi yang akan kita jelang, sebuah senyum tercipta dalam pejam matamu, tergambar pada indah sudut bibirmu, dimana aku berharap agar alasan dia tercipta adalah aku. Aku selalu bahagia bila dia melakukan itu, dan akupun berharap kau merasakan hal yang sama, dimana kata-kata bahagia mungkin adalah asing untuk dunia dimana gelap selalu menghantuimu. Dalam alunan biolaku kau ucapkan selamat jalan pada kehidupan, Seiring biola mengalun bersama mimpi-mimpi dirimu akan dunia yang belum kau jelang. Jemariku mulai bergetar dan musiknya terpecah, kau sudah tidak butuh lagi nada-nada ini, Kau menghilang pada udara bersama dengan nada-nada biola, Dimana kau genggam lagu terakhir untukmu yang mengiringi kau menari bersama para bidadari di atas sana. Dunia yang melantunkan lagu yang lebih indah daripada suara biolaku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment